Tuesday, April 3, 2012

APRIL MOP

source: wollipop.com


FRISTO 

Aku memerhatikan kalender duduk yang tergeletak di meja kamar hotelku. Tak lama lagi. Tak lama lagi sebelum semua kebenaran terkuak. 

Aku menghela napas panjang dan menatap foto-foto yang berserakan di atas kasur. Kuraih satu foto. Kubelai dengan lembut sosok yang terekam. Rayna. Cerdas. Manis. Anggun. Mereka bilang ia akan sempurna untuk berdiri di sampingku. Apa lagi yang kurang? Ya, apa lagi? 

Aku menekan satu nomor di telepon genggamku. Ramon harus kuhubungi secepatnya untuk mematangkan rencana.

“Ya, Fris? Ada apa malam-malam begini?” sahut suara yang sangat akrab di telingaku.

“1 April. Lakukan sebelum tanggal itu. Bagaimana? Bisa?” tanyaku dengan nada menuntut.

“Tentu saja. Kau tahu kau bisa mengandalkanku. Tapi apa kau yakin? Apa lagi sih yang perlu kau buktikan?”candanya.

“Haha. Tidak ada. Hanya sedikit kejutan saja. Oke, kalau ada apa-apa kau tahu harus bagaimana. Thanks, Mon.” 

“Oke. Count on me, Bro!” suara riang Ramon begitu yakin. 

Itu menenangkan. Jadi semuanya sejauh ini lancar.
Brother. Ya, saudaraku Ramon akan membantuku.

Perlahan aku membuka tirai jendela. Udara Singapura malam ini begitu panas.

*

RAMON

“Oke. Count on me, Bro!” suara riangku terasa begitu meyakinkan.
Padahal semua palsu. 

Dengan tangan gemetar aku menekan sebuah nomor. Sedikit gugup aku melonggarkan dasi yang terasa mulai mencekik. Tenang. Harus tenang.

“Ya, Sayang?” suara manjanya terdengar di ujung sana.

“Dia baru saja telepon. Menanyakan perkembangan rencananya.”

Satu teguk Don Perignon mengaliri kerongkonganku.
Terdengar suara jerit tertahan. 

“Mon, serius dia benar-benar akan melakukan itu? Dia tidak mencurigai kita, kan?” 

Aku berusaha menenangkannya.

“Bukan. Dia tidak curiga dengan kita. Dia hanya ingin memantapkan hatinya padamu. Itu saja. Kalau kita bisa memainkan semua skenario kita dengan mulus, percayalah, dia tidak akan pernah lagi melepaskanmu.”
 
“Mon, aku takut.”

“Boleh takut. Tapi jangan itu membuatmu jadi bodoh. Tenang. Kita sudah melakukan ini bertahun-tahun. Jangan kita kacaukan dalam satu hari. Sekarang istirahatlah, Sayang. Siapkan barang-barangmu. Besok kujemput. Love You.”

Pelan aku menuju wastafel. Membasuh wajah aku menengadah. Tatap mataku menghujam kaca. 

“Aku mungkin berhutang banyak hal padamu, Fris. Tapi demi Tuhan aku tidak akan melepas dia untuk membayar semua hutang budiku.”

*

RAYNA

I love you too, Sayang.” Aku melayangkan kecupan pada sosok di ujung sana sebelum mengakhiri percakapan.

Aku terlonjak kaget ketika teleponku bordering.
Dia.

“Malam, Honey. Sudah selesai meetingnya?” ceria suaraku tak berhasil menutupi detak jantung yang berdentum.

“Sudah, Sweety. Capek. Andai kamu ada di sini,” hangat suara pria di ujung sana. Aku benar-benar malu.

“Maafin aku, Honey. Tapi memang pekerjaanku begitu menumpuk. Apa kabar London? Awas ya kalau matamu jelalatan melihat bule-bule yang cantik-cantik itu,” aku tertawa manja.

“Aku yang minta maaf Sweety, sempat memaksamu ikut. Setengah bulan nggak ketemu kamu benar-benar menyiksa. Tunggu aku seminggu lagi, oke?”

“Aku juga kangen. Sepi sekali nggak ada kamu di sini. Seminggu lagi. Janji ya? Masak aku hunting perlengkapan pernikahan kita sendirian?” aku pura-pura merengek.

“Maaf ya, Sweety. Sebenarnya aku ingin Ramon yang menemanimu. Hanya dia yang aku percaya untuk menjaga kamu, hartaku yang tak ternilai. Tapi kamu tahu kan, perusahaan sangat butuh dia selama aku nggak ada.”

Tanpa sadar keringat dinginku mulai mengucur deras. Maafin aku, Fris. Kau tak tahu rencana kami.

*

FRISTO

Entah apakah Rayna bisa membaca kepalsuan dalam suaraku. Entahlah. Besok aku akan mengetahui semuanya.

Hanya Ramon yang aku beri tahu bahwa aku ada di sini menunggu mereka. Tentu saja Rayna sudah berjaga-jaga. Aku yakin itu. Dia wanita cerdas. Dia akan tahu bahwa aku menyimpan suatu rencana untuknya. Dia akan lebih berhati-hati.

Aku memejamkan mata. Suara Rayna menggema di kepalaku.

“Kita ketemu di Singapura. Fristo masih akan dinas sampai minggu pertama April. Mungkin ini kesempatan terakhir kita melepas rindu. Sebelum aku seutuhnya menjadi milik dia. Tolong, jangan kecewakan aku. Kita akan bersenang-senang di sana. Aku janji.”

Aku mengepalkan tangan.
Aku tidak pernah gagal, Rayna. Aku tidak pernah gagal.

*

RAMON

Jadi begini rencananya. Fristo meminta aku memata-matai Rayna yang ingin belanja ke Singapura. Aku yang ia percaya agar Rayna tidak kembali menemui mantan kekasihnya. Ia tidak ingin menyewa orang bayaran yang mungkin akan mengacaukan semuanya. 

Apakah Fristo benar-benar mempercayaiku? Apakah ini tipu dayanya? Bagian dari rencana yang ia buat?

Aku meraih bungkusan kecil dari laci meja. Aku harus memikirkan kemungkinan terburuk.

*

RAYNA

Aku memandangi foto kami bertiga.

Fristo dan Ramon. Dua pria yang menghiasi hidupku. Menjagaku yang hanya sebatang kara. 

Ramon, pria pertama yang aku cintai. Mungkin untuk selamanya. 

Fristo, pria yang harus aku cintai. Jika aku ingin hidupku sejahtera selamanya.

Ramon bilang ini untuk sementara. Aku tidak tahu apa artinya.

*
APRIL MOP!
Malam itu tiba-tiba Fristo sudah berada di depan meja Rayna yang baru saja akan memesan menu di restoran.

“Sayang, kamu! Kamu jahil sekali. Bukannya kamu masih di London?” teriak Rayna dengan keterkejutan yang tampak dibuat-buat.

Ah benar kata Ramon. Jadi ini kejutan yang dimaksud Fristo. Bahwa ia menyuruh Ramon membuntutiku ke Singapore untuk melihat apakah aku benar-benar sendiri. Untung Ramon sudah pergi dari sini sedari tadi, pikir Rayna menghela napas sambil memeluk Fristo.

“Maafin aku. Isn’t it the happiest April Mop?” tanya Fristo sambil mengacak rambut Rayna.

It is! Oh, I’m so happy you’re here with me now!” peluk Rayna erat.

“Ayo, aku sudah siapin makan malam romantis buat kita.”

*
Turun dari taxi, Fristo Menutup mata Rayna dengan kain dan menggandeng lembut tangannya menuju tempat rahasia yang sudah ia siapkan.

“Harum! Kita di mana ini, Sayang?” tanya Rayna.

Sayang. Dia tidak menyebutku Honey. Getir Fristo tersenyum.

Perlahan Fristo membuka kain yang mengikat mata Rayna.
Rayna terpekik.

Sebuah meja makan lengkap dengan hidangan makan malam dan buket bunga tertata rapi di kamar yang dipesan oleh Fristo. Cahaya remang menambah suasana romantis.

Perlahan Rayna mendekati meja. Tiba-tiba ia tercekat. Kakinya menabrak sesuatu yang tergeletak di lantai. Apa? Siapa?

“Ra…Ramon?” Rayna terpekik. Ia membalikkan badan dan menjerit. 
Tubuh Ramon terbujur kaku bersimbah darah di balik pintu menuju balkon.

“Fris!!!”

“April Mop, Sweety,” ucap Fristo sambil meledakkan pistol dalam genggamannya.

Fristo tertawa kecut. “Kalian pikir akan bisa membodohiku?” geramnya sambil meremas beberapa kertas di dalam saku.

Beberapa foto Ramon dan Rayna. Berpelukan mesra. Berdua. Tanpa dia.


Fristo tertawa ke arah mayat Ramon, "Kau pikir bisa mengakhiriku dengan serbuk putih itu? Bodoh!!!"

"Senjataku lebih ampuh. AKu bilang, aku tidak pernah gagal, Ramon. Tidak pernah," Fristo menatap dingin dua tubuh di depannya.

Perlahan Fristo keluar dari kamar. Anak buahnya akan mengurus semua.


2 comments:

  1. Terima kasih sudah membaca, Ayu. Terima kasih banyak. Late idea, nih. :))

    ReplyDelete