Wednesday, April 11, 2012

MAAF, AKU SIBUK


“Maaf, aku sibuk,” kataku saat kau menyapa. Mengingatkanku untuk meluangkan waktu bercengkerama denganmu di tengah deadline yang menghimpit. 

Aku bertingkah seolah aku tidak punya waktu. Ya, memang begitu kan? Aku harap kamu mengerti.

*
“Tolonglah mengerti! Kamu tidak lihat aku sedang sibuk? Argghhh!” Aku berteriak padamu. Saat hasil lemburku bermalam-malam ternyata hanya dianggap sampah. 

Lihat! Lihat, bahkan mulai malam ini dipastikan aku tidak akan tidur demi membuat revisi.

*
“Selamat ya! Kapan kau merayakannya denganku?”, kamu bertanya saat presentasiku disambut dengan baik. 

“Oh, ya tentu saja. Akhirnya jerih payahku tidak sia-sia bukan? Tapi maaf, aku harus mempersiapkan diri. Yah, promosi di depan mata,” seruku berteriak kegirangan.

Aku tertawa. Yah, lucu. Buat apa aku merayakan denganmu? Ini kan hasil jerih payahku? 

Kamu diam.

*
“Gila! Kamu tahu, ini semua gila!” umpatku saat tahu rekanku yang mendapat promosi. Berkat kerja kerasku!

“Dasar penjilat!” Aku memukul kasurku dengan hebat.

“Ini tidak adil. Kamu tahu ini tidak adil! Jadi ini permainan yang kamu tawarkan? Heh, apa salahku? Katakan, apa salahku?”

Kamu diam. 

"Heh, kenapa diam? Daripada hanya diam, lebih baik kamu pergi!"

Mulai saat itu kamu tidak lagi mengusikku.

*
“Hei, kamu dimana? Jangan lari! Katakan padaku, ini semua apa?” Air mataku tumpah. Tidak hanya promosi jabatan yang gagal aku terima. Rekanku, yang sekarang menjadi atasan, mendepakku karena persaingan. 
Aku hancur. Aku meradang. 

Kamu tetap tidak ada.

*
Aku marah padamu. Ya, aku marah. Kemana kamu saat aku butuh jawaban? Kemana kamu saat aku butuh tahu apa rencanamu dibalik ini semua. Ketidakadilan macam apa yang harus aku jalani?

Satu bulan. Kamu tetap tidak tampak.

*
Aku lelah untuk marah. Mungkin karena itu pula kamu marah dan memilih untuk tidak mendengarkanku dan akhirnya pergi? 

Oke, aku mengalah.

Sekali lagi aku mencoba menghubungimu. Mencoba meredam kekecewaanku atas ketidakperdualianmu ketika aku butuh kamu.

Perlahan aku membasuh kedua wajahku. Dalam gelap aku berlutut. Aku mencoba menjamahmu sekali lagi.

Lirih, aku memanggil namamu.

“Kamu. Tolong, maafkan aku. Selama ini aku tidak berbicara dengan cara yang benar kepadamu. Aku sadar, terakhir kali kita bicara, aku sangat marah. Aku minta maaf karena sudah berteriak kepadamu, dan memintamu untuk keluar dari hidupku. Maafkan aku karena sudah mendorongmu dari diriku terlalu jauh, seakan aku tidak membutuhkanmu lagi. Pasti kau berpikir aku tidak ingin berhubungan denganmu lagi.”

Aku mendesah. Masih tidak ada jawaban dari dirimu. Apakah kamu begitu marah? Ataukah diammu karena sedang mengurai penyesalan dalam setiap kata yang aku ucapkan?

Aku tidak tahu. Tapi aku masih berharap.

“Ya. Aku terlalu merasa hebat. Aku mencoba sekuat hati menangani semua urusan hidupku. Tanpamu. Dan aku sadar bahwa mungkin saat ini aku sudah tidak sanggup lagi.”

Tak ada suara.

“Tolong, bicaralah. Marahlah padaku! Ya, aku sudah menyalahkanmu atas semua hal buruk yang terjadi padaku. Dan aku akhirnya menyerah, menyerah atas apa yang aku perjuangkan selama ini.”
“Aku lelah. Ya, aku lelah. Mungkin tak selelah kamu dalam menghadapi sikapku. Ya, aku tahu. Tolong dengarlah aku. Saat ini aku hanya ingin meminta maaf. Dan aku akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali dalam hidupku. Tapi tolong bantu aku, karena aku tidak bisa melakukannya sendiri.”

Aku merasakan pipiku basah. Saat aku mendengar kamu menjawab.

“Anakku, mengapa kau berpikir aku marah kepadamu? Atas semua perlakuanmu kepadaku? Tidak. Sama sekali tidak. Jika kamu berpikir aku tidak perduli kepadamu, maafkan. Maafkan aku karena tidak menggapaimu saat kamu butuh aku. Tapi kamu tahu? Itu karena aku sibuk. Ya aku sibuk memberikan kesempatan kepadamu untuk menyadari bahwa sesungguhnya kamu punya kekuatan untuk melalui semua tantangan yang kau temui. Aku sibuk menunggumu untuk mengerti bahwa mungkin tidak semua berjalan sesuai apa yang kamu inginkan. Aku sibuk berharap bahwa pada satu titik kamu menyadari selalu ada hal yang bisa kamu ambil manfaatnya atas semua kejadian yang menimpa. Dan ketika aku diam tadi, aku sibuk mencari cara untuk dapat memelukmu kembali, kamu dengan dirimu yang baru, yang lebih menghargai hidupmu. Maafkan aku. Aku harap kamu mengerti.”

Oh, aku sungguh malu. Mendengar semua alasan yang kamu berikan, aku benar-benar malu. Aku tahu, seharusnya aku tidak meragukan kamu yang selalu ada untuk aku.

Aku puas menangis. Tetap dalam gelap. Tapi hatiku tidak.

Perlahan aku tersenyum. Dan berkata kepadamu.

“God, thank you. I’m so sorry for everything I’ve done. Please, hold my hand, and keep me in your arms as I live the life you have given me.”


2 comments:

  1. Makasih Ayu, sudah mampir. Iya, begitu pula kata seorang temanku. Miris, tapi dewasa ini banyak terjadi. Sebagai pengingat saja. :)

    ReplyDelete