Tuesday, June 19, 2012

RAMAI


Dulu…
Rindu itu terbuat dari apa?
Rindu itu kepunyaan siapa?
Kenapa selalu menuntut? Kurang ajar sekali dia.
Tolong nasehati rindu untuk sabar menunggu.
Tolong bilang rindu, “Sebentar lagi.”

 Lalu…
Kamu ingin rindu yang bagaimana?
Rindu seperti apa yang mencukupi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu selingkuhi?
Rindu seperti apa yang tidak kamu pertanyakan?
Rindu seperti apa yang akan kamu perjuangkan?

-bety-

Malioboro, Jogjakarta
 *
Jadi Umi tidak akan ikut aku ke Jogja?” yakinku pada sosok wanita paruh baya di hadapanku.

Ia tetap menggeleng. Aku tersenyum. Aku sudah menduga jawabannya akan tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Umi, aku tidak akan lelah melontarkan pertanyaan yang sama, sampai Umi mengangguk.

Tapi Umi tetap cemberut.

--

Aku tahu kenapa Umi benci sekali Jogja. 

Bukan, bukan karena udaranya yang lebih panas dari Lembang. Bukan pula karena Umi lebih menyukai batik Pekalongan. Atau bukan karena Umi lebih menyukai masakan Padang.

Setiap mendengar kata Jogja, Umi bisa mengernyitkan dahi dan mendadak mulas. Lalu tiba-tiba mengeluh Migrain. 

Di atas segalanya, Umi membenci Malioboro.

Dulu sewaktu aku kecil aku akan terheran-heran jika Umi menolak aku ajak ke Malioboro saat berkunjung ke rumah Yangti di Jogja. Bahkan dengan sedikit kasar Umi berkata, “Kalau mau ke Malioboro sama Pak Man sana. Nggak usah ajak Umi apalagi Yangti.” (Yangti = Eyang Putri)

“Yangti antar ke Malioboro ya, Nduk. Tapi jangan bilang-bilang Umimu. Nanti kita bilangnya pergi ke alun-alun.” Bujuk Yangti saat melihatku menangis di taman belakang.

Dan sore itu tanpa sepengetahuan Ibu, kami berdua pergi menyusuri jalan Malioboro dengan diantar Pak Man sopir kami.

“Nyonya yakin mau turun di sini?” tanya Pak Man dengan sedikit ngeri.

“Iya… Dan hal ini tidak perlu sampai diketahui Ningsih. Ingat itu, Man.” 

Aku semakin heran. Ada apa?

Kami menyusuri jalan Malioboro. Hmm, Malioboro memang indah, tetap ramai meski menjelang sore seperti ini. Oh, kupikir Umi tidak suka jalan ini mungkin karena keramaiannya. Dan Umi melarangku pergi dengan Yangti karena takut terjadi apa-apa pada Yangti yang beranjak tua.

Tapi ternyata tidak. Bukan itu alasannya.
Lalu, kenapa Umi membenci Malioboro?

“Yangti, aku ingin ini.” Tunjukku pada sepasang wayang kulit ukuran mini.

Yangti menggeleng. “Tidak kali ini, Nduk. Jika Umimu tahu, bagaimana?” Yangti membelikanku gulali yang rasanya enak sekali agar aku berhenti merengek.

Mendekati ujung jalan, di dekat gerbang masuk Vredeburg, tetiba Yangti menghentikan langkahnya. Memandang sendu ke sosok pria yang sedang berteduh dalam becak. Berkulit bersih, bertubuh kekar. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Lelaki itu melihat kearah kami.

Yangti terdiam kaku. Lelaki itu pun begitu. Semerta keramaian Malioboro menghilang dalam isak tangis Yangti dan raut sendu lelaki itu.

Sepuluh tahun kemudian, aku tahu dia siapa. Lalu dengan paksa Umi membawa Yangti tinggal dengan kami di Bandung.

--

Yangti sakit. Semenjak seminggu lalu kondisinya tak juga membaik. Yangti meminta pulang ke Jogja. Umi menolak dengan alasan kesehatannya bisa bertambah buruk.

Dengan berat hati Yangti memintaku melakukan ini. Awalnya kami merahasiakannya dari Umi. Namun pada akhirnya Umi harus tahu, ucap Abi.

Umi memperbolehkan aku menemui lelaki itu. Hanya untuk mengantarkan surat Yangti. Tidak lebih.

Jadi hari ini, kembali aku menyusuri jalan Malioboro yang ramai sekali lagi untuk menemuinya.

“Bagaimana keadaan Yangtimu, Laras?” tanya pria di hadapanku setelah aku menyium tangannya.

“Yangti semakin membaik,” aku sedikit berbohong. “Yangti menitipkan ini.” Aku mengangsurkan selembar amplop besar kepada lelaki itu. 

Tulisan rapi tangan Yangti masih jelas terbaca. Ia membaca deretan huruf per huruf dengan kacamata bulatnya.

Ia menarik nafas berat. Seraya melipat surat dari Yangti.
"Maafkan aku, Lastri. Maafkan aku, Ningsih." Lelaki tua itu meneteskan air mata dan terduduk lesu.

Di tengah keramaian Malioboro, aku memeluk tubuh lelaki tua pengayuh becak yang tak lagi kekar.
Aku tahu ia pernah melakukan kesalahan menghianati Yangti, wanita yang sangat mencintainya. Yangti sudah memaafkannya sedari dulu.

Tapi sampai kapan Umi? Sampai kapan Umi mengingkari darah daging Umi sendiri?

--

4 comments:

  1. :'( meleleh terhanyut oleh ceritanya..

    ReplyDelete
  2. aku jadi cedih, qaqa. tapi tuyisan ini keyen, jadi aku gag jadi cedih dech...

    ReplyDelete
  3. Ahhh makasih kalian... Tulian kalian juga keren-keren :')

    ReplyDelete