Friday, January 18, 2013

Bales Kangenku Dong!





Evran 
Minggu, 2 Desember 2012
"Lawan dari cinta tuh bukan benci Evran, melainkan ketidakpedulian. Ketika seseorang yang kamu sayang tidak lagi peduli tentang apa pun mengenai kamu, saat kamu tahu bahwa kamu telah kehilangan dia. Nah, saat itu lah cinta tak lagi mau berteman denganmu."

Aku berharap seseorang mengatakan kepadaku mengenai hal tersebut sedari awal. Aku kacau. Lebih buruk lagi, aku tidak mengerti harus bagaimana. Aku harus mendapatkan perhatian Darlene kembali dengan segala cara. Aku kangen dia. Aku kangen mengetahui bahwa Darlene juga memikirkan tentang aku. Aku kangen memeluk tubuhnya yang ramping. Aku kangen membelai rambutnya yang harum. Aku kangen melihat dia tersenyum. Aku kangen mengusap kepalanya saat ia bersandar di bahuku sambil menikmati film di bioskop. Aku kangen menemani dia berburu objek fotonya. Aku kangen melihat dia mengangguk-anggukan kepala mendengarku bercerita tentang pekerjaan. Aku kangen mendengar dia berceloteh tentang apa saja, bahkan tentang kucing tetangganya yang hobi kawin.


Dan bahkan kata-kata terakhir Darlene yang kudengar masih jelas aku ingat.

“Kamu pengen ngeliat aku nangis di sini, Mas?” 
Aku belum pernah melihat atau mendengar dia menangis secara langsung. Darlene tidak akan memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain. Tapi apa maksud kata-kata dia di pembicaraan terakhir kami? Sebelum aku sempat menjawab. Darlene mematikan teleponnya. Dia belum pernah semarah itu. Dia belum pernah sekasar itu. Dia belum pernah menolak aku seperti itu.

Ini adalah hari ke enam dia tidak mengangkat panggilan maupun membalas pesan dariku. Aku benar-benar kacau semingguan ini. Isi kepalaku hanya seputar dia, dia, selalu dia.

Aku bertemu Darlene dan jatuh cinta dengan tawa hangat dan senyumnya. Dia sederhana, penampilannya klasik dan murni. Tak ada yang dipaksakan dan imitasi dalam dirinya. Tak berlebihan namun kita dapat melihat dia wanita berkelas. Pertama bertemu dia, aku sudah merasa nyaman. Dia tidak mengintimidasi meski pertemuan kami saat itu diliputi suasana yang tegang. Dia adalah salah satu bagian tim konsultan hukum yang sedang menangani perkara yang melibatkan perusahaan tempatku bekerja. Cara bicaranya yang teratur dalam memaparkan analisa dan hasil pikirnya membuat kami yang tidak terlalu paham seluk beluk hukum menjadi lebih mengerti. 

Dengan sikapnya yang ramah, tak sulit mendekati dia. Namun butuh lebih dari tiga bulan pendekatan untuk dia yakin bahwa aku ingin menjalin hubungan yang lebih dari pertemanan dengannya. Semua berjalan lancar selama tahun pertama. Darlene membawa udara segar dalam kehidupanku yang monoton sebagai head manager tempatku bekerja. Dengannya aku bebas menjadi diriku yang sebenarnya tanpa takut dihakimi. Dan tanpa diduga, aku bisa menjadi lebih ekspresif dalam hal mengungkapkan perasaan pada wanita.

Semua berjalan lancar, sampai Darlene diminta menjadi rekanan salah satu firma hukum di Bandung.

“Semua akan baik-baik saja,” jawabku.

“Tentu saja, Mas. Jarak Jakarta-Bandung bukan masalah. Tapi kita harus ingat komitmen awal kita. Komunikasi. Kalau ada waktu senggang atau kejadian-kejadian yang perlu kita saling tahu, wajib dikabarkan. Deal?”

Kami saling mengaitkan kelingking, tertawa, lalu berpelukan.

Setelah itu selalu ada pesan atau telepon mesra dari Darlene atau aku setiap hari. Setidaknya pagi menjelang ke kantor dan malam menjelang tidur, kami berlomba untuk menjadi orang yang pertama menghubungi satu sama lain.

Pada tahun kedua, aku tak lagi pernah menjadi si pertama. Seiring dengan promosi yang kudapat, kesehatan bunda tak lagi prima. Sebagai anak lelaki satu-satunya, bunda pun menjadi lebih manja padaku. Untuk Darlene, hampir aku tak lagi mempunyai waktu.

Tapi Darlene tetap mengerti. Termasuk sabar menunggu agar bunda mau menerimanya menjadi menantu. Bunda, yang ingin anak lelaki satu-satunya menikahi wanita ningrat Jawa seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya. Bunda yang tak ingin memiliki menantu berdarah Sunda. Bunda, yang dua bulan kemarin mengenalkan calon menantu pilihannya sendiri, Batari.

Ah, padahal Darlene mendekati sempurna. Setidaknya bagiku. Dia adalah pasangan yang ideal dan aku mengacaukannya. Dan sekarang aku sangat merindukan Darlene.

Hari ke enam. Dan aku kembali mengirimkan pesan suara.

Sweety, Mas tahu kamu masih marah." (Aku menghela napas) "Mas akan ke rumahmu sekarang. Mas mohon kamu mau ketemu Mas. Kita bicara. Love you.


KLIK.

Kuambil kunci mobil dan kuhiraukan suara bunda yang memanggilku dari balkon lantai dua.

Maaf bunda, aku punya rasa kangen yang  harus dibalas oleh orang yang kucinta.

---
_bersambung_

No comments:

Post a Comment