Saturday, January 19, 2013

Cintaku Mentok Di Kamu


cerita sebelumnya : Bales Kangenku Dong!


EVRAN
Jumat, 21 Januari 2011

Dinner with Darlene? Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Aku memandangi surel dari pimpinan dengan pandangan kosong. Sejujurnya aku tidak ingat berapa lama mataku terpaku pada layar monitor.
“Oke,” aku menggeleng-gelengkan kepala, “baca baik-baik tulisannya, Evran. Pukul delapan malam ini.”
Aku menatap lekat-lekat TAG Heuer Grand Carrera  di pergelangan tanganku. Hampir pukul enam sore. Tak akan sempat untuk kembali ke rumah, mengganti baju, dan sampai di Rosso Shangrilla tepat waktu.
Aku mendesah. Pada setelan kerjaku yang kupakai hari ini, aku pasrah.
--
Mungkin aku terlalu berlebihan menyikapi makan malam kali ini. Apa istilahnya? Lebay. Ya, lebay. Tokh tidak sedang menikmati dinner romantic berdua Darlene saja. Ada bosku, bos Darlene, dan tim kami yang terlibat dalam kerjasama yang lalu.
Kenyataan bahwa Darlene memilih duduk di sampingku, itu baru masalah. Thank God aku tergolong pria yang tidak segan untuk tampil rapi dan wangi.
"Bos Anda bilang, Anda adalah manajer IT yang sangat handal." Ia tersenyum lalu menyecap minumannya.
"Saya tidak tahu apakah saya akan mengatakan hal yang sama." Aku meringis         
"Bukankah Anda baru saja kembali dari perjalanan ke kantor pusat di Boston?"
"Benar sekali."
"Berapa kali Anda bolak-balik Jakarta-Boston selama kasus ini?"
"Dua kali. Agak riskan juga sebenarnya untuk meninggalkan kantor di sini. Tapi memang kebetulan lagi ada workshop penting di Boston. Awalnya sempat jet lag. Untung ada antimo. Oldies but goodies isn’t it Ms. Marthahidayat?"
Darlene tertawa Dia berkata tidak ada yang pernah memanggilnya Nona Marthahidayat, Ibu Darlene sih sering.
"Saya minta maaf Pak Prayoga, saya tidak menertawakan Anda. Saya hanya sering merasa geli jika dipanggil Nona Marthahidayat. Oke, mulai sekarang Anda bisa memanggil saya Darlene."
Ia lalu menganggukkan kepala, mengucapkan terima kasih sambil menyunggingkan senyuman yang lebar kepada waitress yang mengantarkan makanan pembuka.
Aku membantu meletakkan serbet di pangkuannya. Dress biru tua bermotif bunga kecil sangat serasi dengan blazer broken white yang ia kenakan. Ikat pinggang kulit dan bross bunga berwarna senada menambah manis penampilannya.
“Terima kasih, Pak Prayoga.”
“Saya akan memanggil Anda Darlene hanya jika Anda memanggil saya Evran.” Ucapku bersungguh-sungguh.
Darlene hanya tersenyum. Dan kemudian ikut terlibat dalam perbincangan dengan yang lainnya.
--
“Bidang yang Anda tekuni sangat menarik." Darlene menatap lurus ke mataku. Tiba-tiba aku merasa sangat menyukai seared duck with apricot glaze and seared foie gras with raspberry dressing yang sedang kunikmati.
"Maksudnya?"
"Maksudnya, saya selalu merasa bahwa orang yang mendalami IT itu orang yang luar biasa." Oke, pipiku pasti memerah sekarang. Tapi Darlene masih menatapku dengan matanya yang teduh namun dalam.
"Semua orang yang bersungguh-sungguh mendalami bidangnya saya pikir adalah orang yang hebat. Termasuk Anda.”
Sekali lagi Darlene tersenyum. Mendadak satu pikiran melintas di kepalaku.        
Berada sedekat ini dengan Darlene membuat aku lebih bisa detil mengamatinya. Bentuk matanya seperti buah almond dan senyum manisnya yang mampu membuat hidungnya berkerut. Lehernya yang jenjang dan wajahnya yang oval membuat ia pantas membentuk rambur hitam miliknya dengan model apapun. Wangi tubuhnya ternyata khas, dan parfumnya lembut.
Tiba-tiba Darlene menoleh ke arahku. Dan entah dari mana datangnya, satu pertanyaan aku lontarkan kepadanya.
"Apa yang Anda lakukan di waktu luang?"
Tatapan heran sekelebat muncul di matanya. Hanya sekejap. "Memotret. Saya suka berburu objek foto, apa saja. Tapi kebanyakan sih foto arsitektur bangunan. Mungkin karena dulu saya ingin menjadi arsitek mungkin ya.”
“Wow. Menyenangkan sekali. Sudah banyak hasilnya?”
“Lumayan. Inginnya sih, suatu hari saya berharap bisa diterbitkan," dia tertawa kecilnya "Saya tahu itu konyol,"katanya menurunkan kepalanya.
"Tidak sama sekali," ganti aku yang menatap lurus-lurus matanya. "Itu bukan hal yang mustahil. Buku atau pameran foto. Terdengar menarik."
"Saat ini saya memang lebih banyak berburu foto seketemunya. Kalau mau bikin buku atau pameran, ya mesti diseriusin."
"Mengapa tidak?"
"Saya masih perlu banyak belajar. Dan belajar fotografi berarti harus banyak-banyak berlatih dan rajin mencari momen yang tepat. Waktu, mungkin itu yang saat ini belum bisa aku dapat.”
“Kalau begitu luangkan waktumu untuk bertualang, Darlene. Banyak hal yang bisa di ekplorasi di sekitar Jakarta ini kok. Nggak mesti jauh-jauh.”
“Tampaknya begitu. Mungkin aku harus bertualang di Jakarta kapan-kapan.”
Aku tidak tahu apa yang berkelebat di kepalaku. Sungguh, apakah ini pengaruh Champagne atau bukan, aku tak tahu. Yang kutahu, aku melontarkan pertanyaan ini kepadanya.  “Boleh saya temani kapan-kapan?”
Terlalu cepatkah? Aku tak perduli. Salahkan saja anggukan Darlene sesudahnya.
Mentok! Ya, malam itu sukses membuat pikiran dan hatiku mentok padanya. 
--
_bersambung_

No comments:

Post a Comment