Tuesday, January 15, 2013

Orang Ketiga Pertama

nuuria.tumblr.com



JHON
Minggu, 25 Nopember 2012
 
Membelah jalan Setiabudhi menuju PVJ pada hari Minggu tidaklah semudah menemukan gerai makanan di Bandung. Kita harus benar-benar memperhitungkan macet sebagai kemungkinan dengan nilai probabiliti nyaris 100 persen. Bahkan saat waktu masih terbilang pagi seperti ini. Jadi, jika bukan karena memiliki janji dengan Bagus partner kerjaku untuk bertemu calon klien baru, aku akan lebih memilih mengerjakan tugasku di kamar.

Lima belas menit sebelum waktu yang disepakati, aku sudah memarkir mobilku di lahan parkir pusat perbelanjaan terbesar di kota Bandung ini.

Aku mengambil ponselku. Ah, baru aku sadar aku lupa mengisi baterenya sebelum pergi. Cepat aku menekan nomor telepon Bagus. “Aku sudah sampai. Kamu di mana ini?” Bagus mengatakan ia masih terjebak kemacetan di sekitar jembatan Cikapayang.

Dengan ransel tersampir di bahuku, aku langsung menuju ke sebuah kafe yang cukup terkenal. Sejauh mataku memandang, banyak sekali orang yang berlalu lalang. Aku harus memiringkan tubuhku dan berbagi ruang saat melalui jalan setapak yang memisahkan tempat duduk-duduk dengan deretan restoran.

Aku sampai di depan tempat yang kutuju, tersenyum pada pelayan yang menyambut di depan area duduk kafe. Ia mempersilahkan aku untuk duduk. Aku menebarkan pandangan ke sekeliling. Cukup banyak tempat yang masih kosong. Tapi yang kubutuhkan adalah tempat duduk yang dekat dengan stop kontak demi dapat menyolokkan kabel ponsel.

Lalu aku melihat dia di sana. Dia duduk di meja di ujung kafe. Tangannya terlihat menggoreskan sesuatu dengan lincah di atas buku yang tampak seperti buku sketsa. Mejanya adalah satu-satunya tempat yang terletak dekat stop kontak. Tidak bisa tidak. Aku harus menyapanya. Untuk dua alasan. Pertama, karena aku akan berada dalam jangka waktu yang cukup lama di tempat ini dan sepertinya mustahil jika kami tidak bertemu pandang dalam jangka waktu tersebut. Jadi rasanya kurang sopan jika tidak menghampirinya sekadar mengucap hai dan melemparkan senyuman. Kedua, aku benar-benar memerlukan stop kontak dan kupikir menyapa dan kemudian berharap diundang untuk bergabung duduk dengannya bukanlah hal yang buruk.

Sebenarnya ada alasan ketiga yang justru paling penting menurutku. Ia tampak begitu cantik dengan keseriusannya dan aku ingin tahu apa yang menyita seluruh perhatiannya alih-alih menikmati minuman yang ada di mejanya.

Perlahan aku mendekatinya. Dengan suara lembut menyapa. Bukan, bukan ingin meninggalkan impresi positif. Semata aku tak ingin mengagetkannya.

“Hai.” Ia mendongakkan kepalanya. Sekarang terlihat apa yang sedang ia kerjakan. Ah, sebuah sketsa. Sketsa wajah seorang pria.

“Oh, hai,” jawabnya tersenyum. Ia melepas kacamata tulangnya yang berwarna cokelat. Dari jarak sedekat ini, kebangiran hidungnya mampu membuat aku terpukau untuk beberapa mili detik.

“Sendirian?” Dan pertanyaan bodoh itu meluncur dari mulutku.

“Untuk saat ini ya. Sedang menunggu teman.”

Oh… ternyata dia sudah punya janji. Entah kenapa dadaku terasa terbakar. Tak mungkin aku cemburu. Atau, mungkin saja?

“Maaf, kalau begitu boleh aku memakai stop kontaknya?” tanyaku menunjuk arah bawah meja yang berdempetan dengan pilar kayu.

Ia ikut menoleh. Memperhatikan sejenak dan mengangguk. “Tentu saja, silakan.” Ia berdiri dan sedikit memberi sedikit ruang padaku.

Aku mengeluarkan charger dari tas, menusukkannya ke stop kontak, dan menghubungkan ujung satunya pada telepon selulerku.

“Terima kasih, Darlene.”

You’re welcome, Jhon. Mau duduk di sini?” tanyanya sambil kembali duduk di kursi.

“Tidak masalah? Bukankanya kamu sedang menunggu teman?” Dalam hati aku berteriak kegirangan.

“Sepertinya dia akan terlambat untuk waktu yang cukup lama. Biasalah, lalu lintas Bandung kurang bisa diprediksi di akhir minggu seperti ini.” Ia melambaikan lengan kearah kursi di seberang tempat ia duduk. Mempersilakan aku.

“Terima kasih banyak,” aku tertawa, “Teman-temanku juga terjebak macet. Jadi, tidak keberatan jika aku ikut melakukan kegiatan di sini?” Aku duduk di seberang kursinya.

“Tentu saja tidak. Ini tempat umum, lho. Silakan.” Ia tersenyum.

Sembari membuka layar laptop, aku menyuri tatap ke arah sketsa yang sedang ia buat. Tampaknya sudah selesai. Pria yang gagah. Ia menuliskan sesuatu di pojok kanan bawah. Much Love, Darlene. Tampak menyadari arah tatap mataku, dengan perlahan ia menutup buku sketsa dan menyimpannya di atas kursi sebelah. 

Siapa dia? Aku pura-pura sibuk memperhatikan layar laptop di depanku. Tapi pikiranku tak lagi bisa terfokus. Sejurus kemudian ponsel Darlene berbunyi. Ia melihat ke layar ponselnya dan tersenyum. 

"Hai, Honey..."

Kepalaku mendadak pusing. Honey, pria di dalam sketsa... Damn!!! Apakah aku cemburu?

---
-bersambung-

No comments:

Post a Comment