Saturday, January 26, 2013

CUT





Sabtu, 16 Desember 2012
Sejak perjalanan menuju Lembang, sang pria terus mencuri tatap ke arah wanita. Meski wanita berpura-pura tidak tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh kedua mata penuh rasa ingin tahu sang pria, ia bertaruh hati kecil wanita tahu. Dari semua yang dapat terlihat dengan kedua mata sang pria, yang dapat menahan tatapannya lebih lama adalah mata wanita itu pada saat ini. Menyiratkan kesedihan yang coba ia sembunyikan.

“Aku terlalu menyintainya, Jhon. Evran. Hingga kupikir aku mabuk dan mulai kehilangan diriku.” Tanpa sang pria minta wanita mulai bercerita sembari mereka menikmati suasana salah satu resto di Lembang.

Sang pria hanya bisa terdiam. Menatap wajah wanita.

“Maafkan aku menyeretmu dalam masalah ini. Tapi…” Wanita mengigit bibir.

That’s ok. Feel free. Aku yang seharusnya minta maaf atas kejadian itu.”

“Jujur saat ini aku tidak tahu sebenarnya apa yang kuinginkan. Pernahkah kamu mencintai seseorang tetapi juga merasa jenuh? Dan saat ini hatiku mulai bertanya, apakah ini layak?”

Wanita melepaskan pandangannya dari paparan keindahan alam Lembang dan menatap sosok di hadapannya. Sang pria menghela napas. Bukan ini yang ia inginkan.

“Lepaskan apa yang bisa membunuhmu. Dan pertahankan apa yang tetap membuatmu bernapas dan berakal sehat.”

“Maksudmu?”

“Kamu wanita yang teramat cerdas, Dhee. Tanpa aku jelaskan, aku yakin kamu memahami maksud ucapanku. Cinta itu memang selalu indah, karena jika tidak maka itu bukanlah cinta. Dan melepaskan apa yang kita pikir cinta bukanlah mengalah atau kalah, melainkan pilihan yang pada akhirnya terasa melegakan, meski butuh waktu lama untuk kita menyadarinya.”

“Kamu tahu mengapa menanti cinta datang itu sesuatu yang indah? Menurutku karena kita tidak menaruh rasa benci di saku seseorang yang telah membuat kita menantinya terlalu lama. Karena kita tahu, bahwa ada rasa sayang yang menjadi rangkaian kawat yang siap dialiri oleh ruh satu sama lain, dan bertemu di pertengahan jalan.”

“Jadi kamu akan tetap mempertahankan hubungan dengan dia, Dhee? Lalu bagaimana jka berpisah ternyata lebih membuatmu bahagia?”

“Bagaimana jika tidak?”

“Maka kau harus mencari kisah lain yang akan membawamu pada proses yang membahagiakan hingga akhir.”

“Aku akan tetap mengatakan ini padamu, Jhon. Aku lebih senang sendirian."

“Pun aku. Jadi mengapa tidak kita lakukan bersama-sama? Sendirian dalam kebersamaan?”

“Sendiri kita berbeda. Sendiri kita adalah dua sendiri yang tak sama.”

Sang pria terdiam. Berpikir cukup lama. “Bukan sendiri kita yang tak sama. Tapi cara kita mengeja Tuhan kita yang berbeda. Begitu, Dhee?”

Wanita menggeleng.“Jangan picik, Jhon. Kamu melecehkanku jika menganggap itu alasannya.”

Ia menyentuh punggung tangan sang pria.
 
“Jhon, dengan segala hormat aku harus berkata bahwa cinta itu sejatinya adalah bukan mengenai keterpaksaan. Pun aku yang tak bisa memaksa hatiku untuk berpaling padamu. Aku harap kamu dapat memahami. Mungkin aku akan menyesal. Mungkin. Meski aku tahu aku mampu, rasanya aku tidak akan tega melihat penyesalan saat melihatmu berjalan beriringan denganku. Pada saat itu mungkin pikiranmu akan menerawang jauh ke saat ini, berulang mengutuk keputusanmu, atau bahkan menghiba waktu untuk kembali dan memberikanmu keberanian untuk merubah semuanya. Meski aku harus mengambil resiko, bukan hati atau hidupku yang aku pertaruhkan dalam permainan ini.”

Sang pria menyentuh tangan wanita di atas meja. Sekali lagi ini bukan saatnya. Sang pria menatap dalam-dalam mata wanita. Berusaha mencari celah, namun tidak ada. Keberhasilannya membawa calon menantu untuk ibunda Natal tahun ini tak lagi terlaksana.

“Dhee, bolehkan aku bertanya, apakah perjumpaan pertama kita bisa diulang? Kali ini tanpa menyertakan perasaan? Kita kembali menjadi sepasang asing yang tak sengaja bertemu pada waktu yang tak seharusnya? Bisakah kita hanya saling menatap tanpa membiarkan benak kita saling berusaha menyusupi hati dan pikiran satu sama lain? Lalu bisakah kita menentukan waktu yang tepat untuk memberikan kesempatan kepada kita berpisah dan semenjak itu segalanya akan tetap baik-baik saja?”

“Tentu saja, Jhon. Tentu saja.”

--
Kamis, 14 Februari 2013

Persimpangan yang sama. Wanita yang sama. Pria berbeda. Senja berbeda. Wanita menyunggingkan senyumnya. Tak ada luka. Hanya rona bahagia. Sang pria lain hangat memeluknya. Lihat, aku datang padamu. Jangan bersedih lagi. Maafkan membuatmu menunggu, maafkan membuatmu mempertanyakanku. Seharusnya aku tahu. Hatiku memang untuk kamu. Sang wanita tetap tersenyum. Semburat pilu sekilas tersirat matanya mencari sesosok bayangan lain yang sudah menghilang. Di ujung persimpangan.

--
TAMAT

No comments:

Post a Comment