Friday, January 25, 2013

Jangan Kemana-mana, di Hatiku Saja





cerita sebelumnya  

JHON
Sabtu, 8 Desember 2012

Untuk kedua kalinya aku menghabiskan Sabtu dengan dia. Darlene, atau yang sekarang kerap kupanggil Dhee. Sejujurnya aku lebih suka memanggilnya Darl, tapi siapalah aku ini. Tak lebih teman lama yang akhirnya bertemu muka. Tak lebih. Meski sepenuh hati aku ingin memilikinya.

Aku tidak tahu kapan tepatnya perasaanku terhadapnya naik ke level yang lebih tinggi dari sekadar teman dunia maya. Kupikir sudah sejak lama, saat aku mengenalnya sebagai Dhee. Dan semakin menjadi saat kudapati kenyataan bahwa dia adalah Darlene.

Aku tak mau menebak-nebak. Tapi hatiku menginginkan lain. Dia bersekutu dengan otakku untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi antara Dhee dan Evran. Dhee tak pernah membicarakan kehidupan pribadinya. Bahkan akun twitternya pun bukan akun resmi. 

Aku hidup dalam dunia dimana sedikit celah kehidupan pribadi berarti banyak bagi orang lain, terutama musuh.

Aku paham. Jadi dengan sedikit data dan berdasarkan fakta, aku mencoba mengkonstruksikannya untuk mengambil kesimpulan.

Hubungan Dhee dan Evran sedang bermasalah.

Setidaknya kesimpulanku didukung oleh bahasa tubuh Dhee sendiri. Dia tidak seekspresif minggu lalu. Meski saat ini kami melakukan kegiatan kesukaannya, berburu objek foto, namun dia tampak tak bersemangat. Dia tersenyum, tapi senyum murung.

Tapi aku tahu, aku tidak boleh bertanya. Termasuk saat ini, ketika ia terpaku berdiri di depan Masjid Raya Bandung. Di bawah kerlipan bintang-bintang yang menghiasi langit. Tak ada mendung malam ini.

Hampir seperempat jam ia berdiri mematung tanpa kata. Tanpa membidikkan lensanya. Aku bergeming, kupikir Dhee memang benar-benar sedang memikirkan sesuatu saat ini. 

“Jhon, ini adalah tempat di mana orang tuaku dulu melangsungkan akad. Februari tahun 1980.” Tiba-tiba ia bersuara. Tatapannya tetap terarah pada gedung di hadapan kami. “Oma pernah cerita, saat itu mama mengenakan kebaya Sunda sederhana dengan selendang putih yang indah. Kata Oma, ia sendiri yang menjahitkan kebaya itu, dan mama yang menambahkan payet dan manik pada kebaya dan selendangnya. Rambut mama yang ikal digelung dan diselipkan melati di antaranya. Papa mengatakan ia belum pernah melihat sesuatu yang begitu indah sebelum ia melihat mama pada hari itu. Oma menangis. Opa menangis. Tapi kemudian mereka tersenyum ketika papa lancar mengucapkan ijab kabulnya. Karena Oma dan Opa tahu, bahwa mereka telah menitipkan anak gadis mereka pada orang yang tepat, yang selain dicintai mama, ia pun memiliki cinta yang besar terhadapnya. Sampai saat ini aku melihat cinta di antara mereka tetap ada. Seolah tidak pernah layu.  Dan kamu tahu Jhon?” Dhee menatapku. “Ada satu tujuan yang ingin kucapai dan kuharap aku bisa mewujudkannya. Aku ingin menemukan kesempurnaan seperti pernikahan orang tuaku.”

Matanya tajam, lurus menatapku. Tapi pandangannya kosong. Aku tak melihat Dhee yang biasanya hangat. Tidak. Ada sesuatu yang lain di matanya. Lalu dia tersenyum. Seakan tak terjadi apa-apa.

Aku mencoba untuk mengucapkan kata-kata yang sedari tadi tertahan di tenggorokanku. Tapi aku tak bisa. Aku tidak tahu apa yang menahannya. Apakah sorot matanya yang tajam dan mampu membuatku hanyut di kedalamannya? Apakah lengkung senyumnya yang seakan meremukkan semua tulang di tubuhku? Apakah tutur katanya yang sendu membuai sampai aku lupa deretan kata yang sudah kupersiapkan dalam otakku sedari tadi?

Berhenti, Dhee. Berhenti menatapku seperti itu.

Dia masih menatapku. Dengan mata almond-nya. Seolah dia tidak tahu bahwa otakku saat ini sedang mengalami guncangan hebat. Selaksa tembok pesisir pantai yang mencoba menahan gempuran pasang. Buih-buih air laut yang memecah adalah deretan kata yang tak lagi lagi bersedia mengantri. Semua ingin terdengar oleh dua telinganya yang cantik.

Damn!

Aku mencoba untuk mengucapkan kata-kata yang sedari tadi tertahan di tenggorokanku. Tapi aku tak bisa. Dia telah menghisap semestaku. 

“Ah, aku tadi bicara apa Jhon?”

“Mintalah pria yang mencintaimu untuk melamarmu, Dhee.” Entah darimana kata-kata itu keluar. Aku tak bisa menahan lagi.

Dhee menatapku dengan terkejut. Lalu tertawa. “Ah.. tapi siapa, Jhon?”

Shit.

Aku ingin mengucapkannya. Tapi aku tak bisa. Dia masih menatapku. Aku hanya bisa menggendikkan bahu dan tertawa.

“Sudah terlalu malam, Jhon. Yuk pulang.”

Dia membalikkan badannya menuju parkiran. Dan aku sekali lagi menelan ludah. Entah aku harus bersyukur atau menyesal. Tapi yang jelas, aku tak berani mengungkapkannya.Tak berani mengungkapkan bahwa seharusnya Dhee berlabuh pada hati yang benar-benar mencintainya. Aku.

Lalu kesadaran itu muncul. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku berlari ke arahnya. Dengan gugup kugenggam kedua tangannya.

"Dhee…di depan rumah ibadahmu, atas nama Tuhanku, AKU MENCINTAIMU!"

---

_Bersambung_

No comments:

Post a Comment