Sunday, January 20, 2013

Untuk Kamu, Apa Sih yang Enggak Boleh?




Cintaku Mentok Di Kamu
--
DARLENE
Minggu, 2 Desember 2012

Lelaki di hadapanku mengelap kacamata dengan ujung bawah kemeja biru langitnya. Sekilas aku lihat, matanya memerah. Benarkah? Atau aku yang salah lihat? Mas Evran tak pernah sesentimentil itu. Ia selalu logis. Entahlah. Mungkin ia hanya terlalu lelah. Pekerjaan menjelang akhir tahun yang menumpuk mungkin membuat ia tak tidur semalam. Penyakit Mas Evran selum sembuh juga. Workaholic.

Dan ia harus menyetir sampai ke Bandung untuk menemuiku dan menjelaskan ini semua.

Ia menghembuskan napas yang cukup berat, seakan begitu banyak hal berkecamuk dalam benaknya. So, this is how we finish it.” Ia memakai kembali kacamatanya dan menatapku.
Aku menangguk, melirik lantai dan mengusap bagian belakang kepalaku. Dengan tangan yang mendadak berkeringat dalam balutan udara Bandung yang dingin.  Meja kaca kecil dengan ornament hiasan laut di dalamnya adalah satu-satunya saksi dalam percakapan aku dan Mas Evran.
Ia mendengus pelan dan berkata, “Well, okay. Mau bagaimana lagi?”
“Mau bagaimana lagi?” Aku menopangkan kaki kanan ke atas kaki kiriku. Menyedekapkan kedua lengan di dada.
“Ya. Mau bagaimana lagi? Mungkin ini yang terbaik.”

“Oke.” Aku menarik napas berat. Berdiri, menjejakkan kedua kakiku ke lantai, berjalan menuju jendela besar di samping pintu depan. Jariku yang mendadak pucat membelai kusen jendela.

Pembicaraanku dengan Mas Evran sungguh sebenarnya sudah aku duga akan terjadi. Aku sudah bisa membaca apa yang sebenarnya sedang berlangsung di balik dirinya yang semakin menjauh selama ini. Somehow aku telah tahu bundanya tengah mempersiapkan pengganti diriku untuk mendampingi Mas Evran. Dan jika itu memang suatu keharusan, aku bisa apa?
"Aku nggak bisa, Mas. Aku hanya tidak bisa jika kau kembali untuk meminta aku bertahan sementara kamu sendiri tidak bisa memberi kepastian."
Mas Evran ikut berdiri dan berjalan mendekati jendela. Aku tahu ia sedang menatap belakang kepalaku. Biasanya Mas Evran akan menjamah kepalaku dan meletakkan di bahunya, mendaratkan kecupan di ubun-ubun kepalaku saat aku merasa resah. Jujur, aku tak mau ia melakukan hal itu pada saat ini. Aku berbalik, tanganku  masih memegang kusen jendela. Kali ini aku tidak bisa menatapnya. 
"Aku ..." Tenggorokanku tercekat. "Aku harap kamu mengerti, Mas."
Dia tidak mengatakan apapun. Hanya menatap mataku dengan tajam dari balik lensa kacamatanya. Mas Evran bisa menjadi sangat hangat, namun lebih kerap sikapnya sangat serius. Kali ini pun begitu. Ia hanya berdiri tegak di hadapanku, terlihat kekecewaan mendalam di raut wajahnya.
“Baiklah. Aku pulang.“ Tiba-tiba ia menuju pintu dan bergerak menuju mobilnya yang diparkir di halaman.

Aku hanya mematung. Memandangi punggung tegapnya yang tampak sedikit limbung menjejaki hamparan kerikil yang luas. Apakah ini kali terakhir aku melihat sosoknya?
 
Percikan air hujan yang mengetuk jendela tiba-tiba seakan membuat aku tersadar. Apakah memang ini yang aku inginkan? Apakah memang ini keputusan yang tepat? Kamu bukan orang yang mudah menyerah begitu saja, Darlene. Dia sudah berusaha menjelaskan dan menawarkan solusi sementara. Tak bisakah kamu memberi kesempatan sekali lagi?
Dan bulir air hujan yang turun semakin deras.
Aku keluar dari teras, bergegas mengejarnya. Ujung rok hijau pupusku berkibar tertiup hujan yang mulai lebat. Tak kuhiraukan. Aku harus menyampaikannya sebelum ia pergi.
Mendekati samping mobil Mas Evran, gerakanku melambat. Dari pintu mobilnya yang terbuka, aku melihat ia di sana. Mas Evran belum menghidupkan mobil. Bahkan kunci kontak masih terkepal di tangannya. Kepalanya menunduk, terbenam dalam kemudi. Ia sama sekali tak menyadari kehadiranku.
Perlahan aku membuka pintu mobilnya lebih lebar. Ia menengadahkan kepala. Wajahnya pucat.
“Darlene…” Ia keluar dari mobilnya dan menatapku dengan pandangan bingung.
Aku menatap lekat-lekat matanya. “Katakan, Mas. Berapa lama lagi aku harus menunggu?”
Karena sesungguhnya tak ada yang tidak akan aku lakukan untuk mempertahankan dia.

Dan di bawah hujan yang semakin ganas memuntahkan serapah, sekali lagi aku membiarkan ubun-ubunku dikecup olehnya.

--
_bersambung_

No comments:

Post a Comment