Saturday, January 26, 2013

Tunggu Di Situ, Aku Sedang Menujumu



Jhon
Sabtu, 16 Desember 2012

Cinta seharusnya tidak mengenal rasa takut. Seperti saat malam itu kamu menciumnya. Ya kan, Jhon? Kamu tahu, tak ada ketakutan sama sekali terlihat dari dirimu. Padahal kamu tahu dia mungkin masih milik orang lain. Apa yang ada di pikiranmu, Jhon? Dia bisa saja mendorong dirimu karena telah melakukan kebodohan yang merugikan dirinya.
Tapi tidak Dia tidak marah. Meski keterkejutan tampak ketara di wajahnya. Yang kuingat selanjutnya adalah Dhee menyuruhku pulang. Tak ada umpatan. Sama sekali.
Seminggu aku tak menerima kabar darinya. Satu-satunya pesan yang kuterima adalah balasan dari permintaan maafku.
Why sorry? For what? :’) 
Tapi aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar. Segalanya mungkin tak lagi sama. Dan seminggu ini aku terlalu sibuk untuk memikirkan cara memperbaiki semua.
Aku masih terbaring di sofa. Pekerjaanku masih terbengkalai di meja. Beberapa kali aku menerima komplain dari Bagus mengenai konsentrasiku yang kerap buyar di kantor. 
“Please Jhon. Kita sudah deal dengan Pak Albert mengenai proyek ini. Lo nggak bisa ogah-ogahan gini ngerjainnya. Gue yakin lo bisa singkirin dulu masalah lo sama tuh cewek. Bisa kan, Bro?” Kata-kata Bagus masih terngiang.
Shit!
Ponselku berbunyi. Mamak. Aku tak mengangkatnya. Notifikasi pesan masuk. Masih dari mamak.
Jhon kemana saja kau ini. Kenapa telepon tak kau angkat? Sudah kau pesan tiket pulang ke Medan? Jangan lupa kau bawa pula calon mantu buat mamak.
Aku tersenyum getir. Melemparkan bantal sofa ke dinding. PERFECT!!!
Ponselku berbunyi lagi. Mamak memang benar-benar tangguh. Aku menimbang apakah akan mengangkat atau membiarkannya. Kulirik layar ponsel. Satu nama tertera di sana.
--
DARLENE
Tanganku masih gemetar memegang sebuah majalah lifestyle edisi bulan ini yang baru sempat kubaca. Mataku terpekur pada sebuah foto yang diambil saat sebuah pesta kaum sosialita diadakan di ibukota. 
Foto Mas Evran yang bergandengan dengan seorang wanita. Jadi, itu yang namanya Batari. Cantik.
Aku tak tahu mengapa aku memutuskan meneleponnya. Tapi rasanya aku tak tahan lagi. Aku tak mungkin menceritakan ini kepada keluarga atau teman-temanku. Mereka terlanjur membentuk anggapan bahwa Evran adalah lelaki sejati yang nyaris tak bercacat. Dan aku pun menganggap begitu. Namun entah sampai kapan aku bisa menutupi ini dari mereka.
Aku harus meminta kejelasan.
“Assalamualaikum. Hai, Sweety. Apa kabar?”
“Waalaikumsalam, Mas. Aku baik. Alhamdulillah. Ohya, fotonya bagus.”
“Foto? Foto apa, Darl… Oh…” Mas Evran menghentikan ucapannya.
“Ya, Mas. Foto di majalah itu. Batari cantik, Mas. Bunda nggak salah pilih.” Aku menelan ludah.
“Darl… Itu nggak seperti yang kamu kira. Sweety, dengerin aku dulu…”
“Kamu minta aku menunggu, Mas. Kamu bilang akan mencari cara untuk mengatakan pada Bundamu.” Aku menarik napas. “Tapi aku tahu diri, Mas. Aku tidak mau membuatmu menjadi seorang yang menentang ibunya.”
“Kamu bicara apa, Darlene? Kamu meragukan aku? Kamu marah sama aku?”
“Aku sayang kamu, Mas. Saat ini, hanya itu rasa yang aku tahu.”
“Aku juga sayang kamu.”
“Tak pernah mudah untuk menunggu seseorang yang sungguh kita perdulikan. Terlebih jika dia tidak menyadari bahwa kita menunggu dengan penuh harap.”
“Maksudmu apa, Darl? Aku tidak bisa menjanjikan kepadamu bahwa semuanya akan baik-baik saja, selalu mulus. Tapi yang pasti, aku bisa berjanji bahwa aku tidak akan pernah beranjak dari berjuang ketika suatu hal yang buruk terjadi dalam kisah kita.”
“Jika begitu, lakukan apa yang menjadi janji kita, Mas. Lakukan tanpa menyakiti siapapun, terutama Bunda.”
I love you, Darl. I have no doubt at all.”
Aku menutup telepon. 
--
Aku tak tahu mengapa aku memutuskan meneleponnya. Tapi rasanya aku tak tahan lagi. Aku tak mungkin menceritakan ini kepada keluarga atau teman-temanku. Mereka terlanjur membentuk anggapan bahwa Evran adalah lelaki sejati yang nyaris tak bercacat. Dan aku pun menganggap begitu. Namun entah sampai kapan aku bisa menutupi ini dari mereka.
Aku harus menumpahkan kegilaanku.
“Halo… Dhee?” Terdengar suara di seberang line tak lama setelah aku memencet sebuah nomor.
“Oh hai Jhon. Lagi sibuk? Aku mengganggu?” 
No. Sure not. Hanya sedikit evaluasi rancangan.”
Darlene, apa yang kau lakukan? Aku menekan-nekan pelipisku dengan jari. Aku tak tahu mengapa aku melakukan ini.
Yang kutahu selanjutnya adalah aku sudah berada di mobil Jhon.
--
JHON
Terus terang, aku masih terhenyak di sofa beberapa saat setelah Dhee menelepon. Aku tak berpengalaman dengan wanita, tapi aku tahu dia sedang bersedih. 
Dhee, tunggu di situ. Aku sedang menujumu.
--
_bersambung_

No comments:

Post a Comment