Sunday, January 13, 2013

KENALAN YUK



JHON
16 Nopember 2012

Bedebah!
Umpatnya kepada bulir-bulir hujan yang serentak turun mencumbui bumi di tengah-tengah senja yang panas. Bergegas pria dua puluh tujuh tahun itu berlari menghampiri halte di persimpangan jalan yang memang menjadi tujuannya.

Rutukan berlanjut pada kebodohannya yang telah melupakan payung atau jas hujan di musim yang tak bersahabat seperti ini, dan mengindahkan keberadaan mereka di salah satu pojok kamar kost-nya. Lunglai matanya terpekur pada sepatu kulit berharga jutaan yang baru ia tebus dari etalase toko dengan mengorbankan seperenam gajinya dalam sebulan.

Tak bisa diharapkan. Keras ia menghentakkan pukulan kepada kepalanya. Sibuk jemari tangan kanannya membasuh basah yang melekat pada tas kerja dari kulit sapi miliknya.

Sang pria mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang berteduh di sana. Hanya ada penjual asongan, penjual koran, kanak-kanak pengojek payung yang semringah mengikuti penyewanya. Dan seorang wanita dalam balutan gaun hitam.

Tentu saja, pikir sang pria, saat ini kebanyakan pekerja sudah menduduki tempat yang nyaman di dalam kendaraan, atau bahkan sudah bergelung dengan hangatnya secangkir teh dan pisang goreng yang mengepul di rumah mereka.

Kenapa juga mobilnya mesti masuk bengkel? Dasar mobil tua! Si pria mendesah. Yah, ibarat manusia yang sudah uzur, seharusnya si abu sering-sering melakukan medical check-up.

DHUAAARRRR!!!

Bunyi petir yang membelah angkasa tanpa pesan sukses mengagetkan lamunan pria muda dan wanita bergaun hitam. Cepat sang wanita memundurkan tubuhnya semakin menjauhi bibir jalan. Lebih rapat ke arah pria muda.

Cantik. Wanita itu cantik dengan caranya. Sang pria memberikan penilaian sekilas. Gaun turtle neck abu-abu tua yang dipakainya, jodoh yang sangat serasi dengan  terang yang berasal dari sambaran kilat. Sepatu kulit hitamnya yang berhak 5 senti bergaya klasik. Seklasik bentuk tubuh yang ditopangnya. Tas oversized abu-abu dari kulit ular, menandakan ia wanita berkelas. Rambut hitam mengkilatnya digelung tinggi. Si pria bertaruh, wanita ini memiliki leher kuning langsat yang sangat jenjang. Setidaknya itu bisa ia perkirakan dari sedikit kulit bagian lehernya yang tersingkap angin. Kakinya yang juga jenjang tampak gemetar menahan dingin air hujan yang menghambur ke arah tubuhnya. Mungkin saat ini sang wanita berpikir akan lebih baik jika pagi tadi ia memilih untuk memakai setelan celana panjang alih-alih gaun sebetis yang saat ini ia kenakan.

Kasihan. Kata si pria dalam hati sembari mengamati wanita dari sudut matanya. Dia terlihat menggigil. Begitu dinginnya kah sampai-sampai ia menitikkan air …. Tunggu, benarkah itu?

Si pria mengamati lebih seksama. Sang wanita perlahan menyusut bagian bawah matanya. Air hujan atau air yang bersumber dari kedalaman matanya kah yang saat ini mengaliri tulang pipinya yang tirus?

Sang wanita semakin menundukkan kepalanya. Bagian belakang lehernya sekarang terlihat lebih jelas. Tangannya membetulkan gelungan ramburnya yang sempat mengendur. Sang pria harus mengakui, cara wanita menggerakkan kepalanya sangat gemulai. Bak penari yang sedang memvisualisasikan kesedihan seorang bidadari yang tak bisa pulang ke kahyangan tersebab terhalang hujan.

Ah, pikiranku mulai melantur. Tersenyum sang pria mengenyahkan bayangan wanita dalam bentuk bidadari dari kepalanya. Sekilas wanita menoleh ke arahnya. Sang pria melontarkan senyuman kikuknya. Oh, apakah ia menyadari bahwa ia sedang menjadi sumber perhatian mataku? Sang wanita membalas dengan senyum segaris.

Oke, mungkin ia sedang khawatir memikirkan keluarganya di rumah. Mungkin ia sedang merindukan anaknya. Pekerjaan menjelang akhir minggu memang menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Tentu saja ia berharap dekapan keluarga yang hangat setidaknya bisa mengurangi lelahnya. Tapi mengapa ia menangis?

Ah, apa perduliku? Pria muda mendengus.

Sudah hampir tiga puluh menit. Hujan belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Tiba-tiba sebuah taksi kosong melintas di hadapannya. Satu-satunya taksi yang nampak. Tanpa pikir panjang, pria muda berlari sambil melambaikan tangan. 

Begitu juga sang wanita. Mereka membuka pintu taksi bersamaan. Si pria bergerak mundur. Sang wanita menatapnya. “Sharing?” Wanita memberi tawaran.
Pria muda mengangguk. Bersamaan mereka menduduki kursi belakang. Pria bertanya tentang tujuan wanita dan menyampaikannya kepada sang sopir. 

Wanita menggeser duduknya mendekat jendela dan menatap ke arah jalan. Oke, sekarang akan bagaimana? Tanya pria dalam hati. Lalu hening.

Satu menit kemudian….

“Maaf merepotkan.” Tiba-tiba wanita menoleh ke arah pria.

That’s ok. Oh ya, kenalkan. Jhon.”

Wanita menyambut uluran tangan pria dan menyebutkan namanya.

Pria muda tertawa dalam hati. Tebakannya setengah jam yang lalu salah.

Tak ada cincin di jari manis sang wanita.



---
-bersambung-

6 comments:

  1. Replies
    1. Makasih sudah mampir. Makasih juga komennya. Mudah-mudahan bisa bikin lanjtan ceritanya. :)

      Delete
  2. Aunty... lama nggak main kesini hehe :D
    dann..
    tulisan Bety yg mana yg ga asik? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Risna. *Uhuk* Berlebihan, ah.... Baru nulis lagi nih. Rencananya bersambung. Semoga bisa klop dengan temanya.

      Delete
  3. keren... deskripsinya detail banget ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, dikomentarin Adit. Makasih sudah membaca. Awalnya khawatir kepanjangan. Mepet 700 kata ini. Kita sama2 bikin cerbung, ya. Mudah2an alurnya bisa klop dengan judul. Sekali lagi, TY for reading. :')

      Delete