Monday, January 21, 2013

Menanti Lamaran




DARLENE
Jumat, 30 Nopember 2012

Hari ini seharusnya menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku. Tapi sedari pagi perutku terasa campur aduk, seakan ada yang sedang memeras isinya. Cairan empedu yang pahit terasa sampai di dasar tenggorokan, mengancam ingin mengeluarkan seluruh isi perut melalui mulutku.  

Akhirnya satu tahap akan aku lalui hari ini.

Mama tersenyum padaku di cermin. Sore ini ia bersikukuh ingin mendadaniku. Kuas perona pipi meluncur di tulang pipiku yang tinggi. Menyisakan jejak semburat merah muda. Tadi mama sudah mengepang rambutku dan membentuknya menjadi sanggul sederhana. Tak lupa ia sematkan sebuah hiasan bunga dari satin berwarna putih gading di bagian kanan. Aku sudah mengingatkan pada mama dan papa, bahwa sebisa mungkin ini berjalan secara sederhana. Sebelum berita ini tersebar dan melibatkan lebih banyak orang, aku ingin melewatinya dengan keluargaku saja.

Jadi untuk sore ini aku lebih memilih gaun satin berwarna hijau emerald dengan pita sutra diikatkan di pinggang. Gaun ini benar-benar indah. Mama membelikan untukku sebagai buah tangan saat ia mengunjungi nenek moyangnya di Eropa. Aku berharap gaun yang cantik ini dapat membuat aku pun terlihat cantik. Melihat refleksiku di cermin, aku bertanya-tanya apakah lelakiku akan menyukai penampilanku sore ini. Mungkinkah ia akan menatapku terpesona dan lupa berkedip, seperti di film-film.

"Kamu begitu indah, Sayang," kata mama.

"Terima kasih Ma," gumamku sambil tersenyum

Yang sebenarnya adalah aku sedang resah. Hujan sedari pagi belum berhenti. Bandung di penghujung tahun memang kerap begini. Mulai gerimis saat fajar, dan langit telah gelap terus sejak saat itu. Adikku Darryl menyebutnya sebagai pertanda buruk, tapi aku berdoa sebaliknya. Karena jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Aku tak mau menunda hari ini.

"Jangan khawatir, dia adalah orang yang baik."

"Aku tahu, Ma."

Aku tahu lelakiku adalah orang yang baik. Itu tidak aku pungkiri. Yang aku khawatirkan adalah perjalanannya menuju rumahku yang berkelok. Dalam keadaan hujan seperti ini, kekhawatiranku berlipat ganda atas keselamatannya.

Guntur bergemuruh. Satu tarikan napas panjang lolos bibirku. Dari balik cermin mama menggeleng. "Jangan cemas. Berdoalah hujannya cepat berhenti.

"Tentu saja, Ma." 

Rasanya sudah terlalu lama aku menunggu. Seharusnya saat ini lelakiku sudah duduk bersama kami di meja tamu, dan secara jantan menyampaikan maksud kedatangannya kepada papa.

Aku berharap papa akan mengangguk dan kami semua akan bernapas lega. Lalu pertemuan akan ditutup dengan menikmati hidangan makan malam yang sudah dipersiapkan oleh mama dan aku sebelumnya. 

Mataku beralih ke jendela kamarku lagi. Hujan masih turun, dan bulirnya membuat jalur di bawah panel kaca, lalu masuk ke dalam bingkai kayu. Aku begitu ingin pergi ke luar, menunggu lelakiku di teras. Hampir saja keinginan itu aku wujudkan ketika Darryl memasuki kamarku.

“Mobilnya sudah datang.”

Jantungku berdegub kencang.

"Ayo." Mama meraih tanganku dan aku berdiri, membiarkan rok terjatuh di sekitar kakiku. Di ruang tamu, papa menyambut tanganku dan mengganggamnya. Ia tersenyum hangat, dan memelukku erat.

Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri di depanku. Aku melihat dalam-dalam ke matanya yang
cokelat gelap. Sekilas aku melihat ada kilatan senyuman di kedalaman matanya, menghangatkan. Aku merasa seringai mulai terpahat di bibirku. Rambutnya yang lepek karena basah menempel di dahinya. Sisa-sisa bulir air hujan masih setia menghuni permukaan kulit wajahnya, membuat wajahnya seakan berkilau. Kemeja putih bergaris halus yang basah kuyup menempel ketat di badannya, memahat setiap lekuk tubuh atletisnya. Aku terpana.

Dia melangkah mendekat. Menatap kedua mataku, menghipnotisku dngan ganas dan aku tak bisa bergerak kemana-mana. Ia mengambil kedua tanganku dari tangan papa yang masih menggenggam, lalu menangkupkannya dalam kedua telapak tangannya. Ia membimbing tanganku menuju dadanya, membuat aku merasa degub yang berasal dari jantungnya kini seakan berkolaborasi dengan milikku, menghasilkan irama yang sama.

Lelaki itu kemudian menatap papa dan berkata dengan yakin.

“Bolehkah saya melamar putri Anda sekarang?”

Papa tersenyum, lalu menatapku meminta persetujuan. Aku bersiap untuk memberikan anggukan. Aku menatap lelaki itu sekali lagi, meyakinkan bahwa ia adalah lelaki yang aku inginkan untuk berada di sampingku di pelaminan nanti.

Aku terus menatapnya, bersusaha mengukir semua detil wajahnya. Namun tiba-tiba aku menggigil, mataku memanas, kakiku gemetar. Aku ambruk ke lantai.

Lalu aku tersadar. Ini tidak mungkin.

Mimpi macam apa yang baru saja aku alami? Pertanda apa ini? Kenapa yang berdiri di hadapanku tadi bukan Evran? Siapa dia?

--
_bersambung_

3 comments:

  1. Replies
    1. Terima kasih, Mbak Nath. Ini agak bingung nih nyambungin dengan cerita sebelum2nya, karena seharusnya tema ini muncul di akhir cerita. :D

      Delete
  2. emang ajaib judul2nya hehe..
    untung versi saya engga bersambung *saya mah pemales* :D

    ReplyDelete