Teruntuk: @ekaotto
Hai eka, sama sepertimu, Aku (Juga) Ingin Menikah.
Sama sepertimu, aku ingin menulis surat yang menyatakan
(betapa saat ini) Aku Ingin Menikah. Bedanya aku tidak menujukan surat tersebut
untuk Papa. Kenapa? Karena memang beliau dan juga Mama sebenarnya sudah
mengharapkan aku untuk menikah, jauh bertahun sebelum hari ini ada. Jadi
seharusnya yang lebih tepat adalah AKU HARUS MENIKAH, bagi mereka. Mungkin pada
akhirnya surat ini aku tujukan untuk diriku sendiri. Dan juga para wanita
lainnya yang saat ini berpikir, atau belum, untuk menikah suatu hari ini. Dan
juga untukmu, untuk membuktikan, bahwa kamu tidak sendiri.
Eka,
Kamu tahu suratmu itu teramat sangat mewakili kata hati banyak wanita. Dengan untaian kata yang teramat manis, kamu bahkan membuatnya lebih istimewa. Ah, jika waktu itu benar-benar tiba, aku berani bertaruh pasti kamu akan sangat teramat bahagia, begitu juga orang-orang yang menyayangimu, baik yang engkau kenal maupun tidak, seperti aku. Semoga secepatnya. Semoga bahagia. Semoga untuk selamanya.
Kamu tahu suratmu itu teramat sangat mewakili kata hati banyak wanita. Dengan untaian kata yang teramat manis, kamu bahkan membuatnya lebih istimewa. Ah, jika waktu itu benar-benar tiba, aku berani bertaruh pasti kamu akan sangat teramat bahagia, begitu juga orang-orang yang menyayangimu, baik yang engkau kenal maupun tidak, seperti aku. Semoga secepatnya. Semoga bahagia. Semoga untuk selamanya.
Eka,
Sejujurnya aku memilih untuk membalas suratmu,
merupakan keruntuhan ego buatku. Ya, tanpa sadar selama ini aku bertahan begitu
kuatnya menolak kenyataan bahwa pada satu titik aku harus berani membangun
komitmen serius yang bernama Pernikahan. Bukannya trauma atau apa. Boleh dikata aku seorang
observer yang kuat, yang cukup banyak melihat kegetiran dalam kehidupan romansa
orang lain. Dan kombinasi kecemasan bahwa semuanya tidak berjalan lancar dan
ketakutan untuk gagal membuat aku dengan lantangnya berkata, “AKU AKAN BAIK-BAIK SAJA TANPA PRIA”. Dan semua keberhasilanku untuk berdiri sendiri semakin
menguatkan pemikiran, bahwa untuk menjadi sukses dan bahagia bisa aku lakukan
sendiri dan cukup dengan dukungan keluarga. Tapi Eka, dalam perenungan di malam
panjangku aku kerap berpikir, bukan, bukan itu tujuan Tuhan menciptakan aku ke
dunia. Untuk menjadi orang yang egois dan merasa cukup dengan aku sendiri saja.
Bukan. Aku harus berguna, untuk orang lainnya.
Ya Eka,
Aku harus memikirkan orangtuaku. Mereka begitu khawatirnya
dengan kemandirianku sampai mereka bertanya, apakah benar aku tidak punya
keinginan berkeluarga. Aku tertawa. Ya, tentu saja aku bilang aku mau. Tapi
pada saat itu hanya untuk menenangkan hati mereka. Wajarkah kekhawatiran
mereka, jika aku baru mengenal pria di usia mendekati kepala tiga? Ya, tentu
saja. Dan aku merasa berdosa sudah membuat mereka sebegitu cemasnya.
Aku akui, Eka. Ya, pada satu titik aku butuh pria. Bukan,
bukan hanya untuk pemuas nafsu belaka. Ya, aku butuh pria untuk bersama-sama
belajar memaknai apa tujuan kami hidup di dunia. Ternyata pria bisa menjadi
guru kehidupan yang sangat baik, ia juga bisa menjadi sahabat, ia bisa menjadi
saudara, ia bahkan bisa menjadi sekedar ada untuk mendengarkan aku bercerita.
Ya Eka, (sekarang) Aku Ingin Menikah.
Aku ingin ada yang memperkenalkanku sebagai pendamping
hidupnya di dunia dan akhirat.
Aku ingin ada yang mengingatkanku ketika aku menjadi seorang
individu egois yang merasa mampu melakukan semuanya sendiri, bahwa (kadang)
berdua itu lebih baik.
Aku ingin ada yang mendengarkan keluh kesahku. Ya, hanya
mendengarkan pun sudah cukup bagiku. Tidak perlu ia memelukku, tidak perlu ia
menepuk pundakku. Hanya sekedar ada, dengan cintanya. Itu sudah cukup.
Aku ingin memiliki seseorang yang punya waktu, sama
sepertiku. Waktu untuk mencintai dan menyayangi tanpa jeda, waktu untuk belajar
mengenai arti hidup bersama-sama, waktu untuk saling menatap antara mata dengan
mata dan melukiskan semua kisah yang terjadi antara kami di penghujung hari.
Aku ingin seseorang yang punya waktu sampai penghujung waktu memisahkan kami.
Di atas semua itu, Eka.
Aku ingin hidupku menjadi lebih berarti. Untuk keluarga. Keluargaku
sendiri.
Aku ingin menjadi wanita seutuhnya. Yang pada satu saat
seorang pria rela melakukan hal terbodoh dalam hidupnya di bawah rintik hujan
hanya untuk mengungkapkan perasaan cintanya padaku. Dan tiba saat dengan
gagahnya ia memintaku kepada kedua orangtuaku. Bahwa ia akan menggantikan
tanggung jawab mereka untuk selalu mengasihi dan menjagaku.
Aku ingin sekali melihat kedua orangtuaku meneteskan airmata. Airmata bahagia mereka di hari bersatunya kami. Dengan bangga menyatakan bahwa pilihan anaknya tidak salah.
Aku ingin setahun, dua tahun, tiga tahun kemudian memiliki buah hati sebagai bentuk sucinya cinta kami.
Aku ingin sekali melihat kedua orangtuaku meneteskan airmata. Airmata bahagia mereka di hari bersatunya kami. Dengan bangga menyatakan bahwa pilihan anaknya tidak salah.
Aku ingin setahun, dua tahun, tiga tahun kemudian memiliki buah hati sebagai bentuk sucinya cinta kami.
Aku ingin merasakan perjuangan yang dilakukan Mamaku
berpuluh tahun lalu. Perjuangan yang membuktikan bahwa bukan tanpa alasan Tuhan
menciptakan wanita di dunia, dengan menaruh surga di telapak kakinya.
Aku ingin ada seorang mahluk kecil yang merengek-rengek
meminta air susuku, dan bertahun kemudian dengan suara menggemaskan bercerita
betapa ia bangga memiliki aku sebagai Mamanya di muka kelas, di depan
teman-temannya.
Aku ingin mendampingi anakku memilih busana pernikahannya
sendiri. Aku ingin merasakan repotnya mengatur segala hal di hari paling
bahagia baginya. Aku ingin merasakan kebahagiaan Mama dan Papa, sama seperti
yang mereka rasakan di hari pernikahanku kelak.
Aku ingin bermain bersama cucuku, Eka. Ya aku ingin sekedar
mengajarkan bagaimana cara mengganti popok atau memandikan mahluk kecil itu
kepada anakku.
Aku ingin, ada sekelompok orang yang akan setia menemaniku
di masa tua. Sampai aku menutup mata. Mereka yang bisa dengan kasih dan cinta
aku sebut keluarga.
Dan aku ingin, pada saat itu tiba, aku tidak lagi menyesali
keputusan bahwa memang pada akhirnya aku harus menikah. Dengan pria, yang bisa
aku sebut sebagai @imamnyabetyoktarina dengan bangga.
Ya, Eka. Sama sepertimu AKU INGIN MENIKAH.
Jika waktu itu datang, maukah kamu menghadirinya dan
memberikan doa?
Maukah kamu membacakan surat ini di hadapan orang-orang yang
aku sayangi dan menyayangiku?
Dan bersama kita menertawakan, bahwa tidak ada, ya tidak ada
ruginya untuk berteriak lantang............... "AKU
INGIN MENIKAH".
Maukah kau, Eka yang jelita?
No comments:
Post a Comment